Minggu, 04 Februari 2018

GURU HONORER YANG BERNASIB TRAGIS: REFLEKSI ‘MASIH GAGALNYA’ PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh: Rony Harsoyo*


Kamis, 01 Februari 2018 menjadi hari terakhir yang teramat tragis bagi Ahmad Budi Cahyono seorang guru seni (honorer) di SMAN 1 Torjun Sampang Madura. Dilansir dari bangka.tribunnews.com, tepat pkl. 21.40 sang guru honorer menghembuskan nafas terakhir di RS Dr. Soetomo Surabaya dan hasil otopsi menunjukkan bahwa korban didiagnosa MBO (Mati Batang Otak).
Penyebab kematian korban ini diduga dikarenakan dianiaya oleh muridnya sendiri yang berinisial MH (17 th) kelas XI SMAN 1 Torjun Sampang Madura. Berdasarkan laporan pihak berwajib, perkara terjadi sekitar jam 1 siang pada sesi jam terakhir. Murid yang berinisial MH awalnya ogah mendengar materi yang disampaikan oleh Budi. Bahkan, sikapnya menjadi-jadi dengan malah mengganggu teman-teman dengan mencoret-coret lukisan mereka. Tentu Budi tidak tinggal diam dan menegur murid yang ternyata anak seorang kepala pasar. Namun peringatan sang guru tidak dihiraukan MH. Ia justru semakin bersemangat mengganggu. Akhirnya Budi mengambil sikap dengan mencoret pipi MH menggunakan cat warna. Tapi MH tidak terima dan sontak melepaskan bogem mentah. Keonaran ini segera dilerai oleh sejumlah murid dan guru lainnya.
Keduanya kemudian dibawa ke ruang guru untuk menjelaskan duduk persoalan. Surya.co id mendapatkan sebuah laporan yang membahas terkait kondisi Budi. "Saat itu Kepsek tidak melihat adanya luka di tubuh dan wajah Pak Budi." Jadi dipersilahkan, "Agar Pak Budi pulang duluan." "Kemudian Kepsek mendapat kabar dari pihak keluarga bahwa sesampainya di rumah, Pak Budi istirahat karena mengeluh sakit pada lehernya." "Selang beberapa saat, Pak Budi kesakitan dan tidak sadarkan diri dan langsung dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo, Surabaya." Beredar selentingan rumor, sebuah informasi menyebutkan saat Budi dalam perjalanan pulang, diduga dicegat MH. Namun, informasi ini masih misteri. Budi secara mengejutkan akhirnya meninggal dunia jam 21.40 malam.

Ya, peristiwa yang sontak mengguncang dunia pendidikan di Indonesia dan bahkan bisa dibilang peristiwa yang kedua kali terjadi sepanjang sejarah pendidikan Indonesia di mana seorang siswa menganiaya gurunya sendiri hingga mengakibatkan meninggal dunia, setelah peristiwa pembunuhan oleh mahasiswa terhadap dosennya di salah satu universitas di Sumatra Utara beberapa waktu lalu yang dilatarbelakangi oleh dendam pribadi.
Peristiwa tersebut menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia, sekaligus pembelajaran bahwa pendidikan karakter memegang peranan penting untuk membentuk kepribadian seseorang. Betapa pendidikan di Indonesia kerap kali hanya dimaknai sebagai teknik manajerial sekolah/madrasah dan menitik beratkan pada nilai-nilai kuantitatif akademik kognitif semata. Iklim pendidikan masa kini, umumnya lebih menuntut para siswanya untuk mendapatkan nilai dan angka yang tinggi tanpa diimbangi dengan pendidikan budi pekerti serta nilai-nilai perjuangan bangsa.
Sehingga tak mengherankan jika Indonesia masih belum mampu menghasilkan klas elit modern yang mampu melakukan perubahan secara fundamental terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Generasi yang terbentuk umumnya cetakan generasi yang pragmatis, instan dan konsumtif. Ketika sikap yang pragmatis berdampingan dengan sifat materialistis, maka pemuasan materi menjadi tujuan tertinggi dalam kehidupan seseorang. Nilai-nilai kejujuran dan kebenaran tak lagi menjadi pedoman, semakin dikesampingkan. Akibatnya, tak mengherankan jika mayoritas penerus bangsa kita hanyalah sekumpulan generasi ‘instan’ yang enggan bersusah payah dalam meraih tujuan. (www.kompasiana.com)
Terlebih saat ini pendidikan hanya dimaknai sebatas ‘transfer of knowledge’ dengan kewajiban guru sebatas mengajar, sebagai dampak dari beberapa kasus wali murid melaporkan guru kepada pihak berwajib karena telah memberikan sanksi fisik kepada anaknya dan dengan berdalih atas nama HAM dan perlindungan anak. Sehingga substansi pendidikan sebagai ‘transfer of values’ jarang dilakukan bahkan tidak pernah ada lagi. Akibatnya, siswa layaknya robot berjalan yang tidak memiliki karakter/akhlaq yang baik.
Peristiwa di atas, menurut hemat penulis merupakan salah satu indikator dampak dari sistem pendidikan di Indonesia yang ‘masih gagal’. Guru, dihadapan siswanya sudah tidak ada harganya lagi. Banyak bahkan mayoritas siswa ‘jaman now’ tidak memiliki unggah-ungguh terhadap gurunya, berkata maupun bertindak tanpa didasari sopan santun. Realitas ini relevan dengan pernyataan Muhaimin yang mengatakan bahwa indikator kegagalan pendidikan agama Islam di Indonesia dalam menggarap sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik dan membangun moral dan etika bangsa adalah membudayanya ketidakjujuran dan rasa tidak hormat anak kepada orang tua, dan guru. Menurutnya lagi, Lickona menyebutkan beberapa indikator yang harus diwaspadai sebuah bangsa akan mengalami kehancuran salah satunya adalah semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru (Muhaimin, 2011: 154).
Padahal, guru adalah penyampai kebenaran. Ketabahan dan keikhlasan mengabdi kepada guru merupakan syarat pokok untuk meraih keberhasilan menempuh pendidikan. Secara implisit pembahasan mengenai interaksi guru dan murid, Az-Zarnuji menulis dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim:
إعلم بأنّ طا لب العلم لاينال العلم ولاينتفع به الاّ بتعظيم العلم وأهله وتعظيم الأستاذ وتوقيره.
“Ketahuilah, sesungguhnya orang yang mencari itu akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil manfaatnya tanpa mau menghormati ilmu dan gurunya.
Maka diperlukan revitalisasi pendidikan karakter yang telah didengung-dengungkan pemerintah, agar terbentuk manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki kompetensi pengetahuan dan psikomotorik saja, namun lebih memiliki moral/akhlaq yang mulia. Semoga tragedi tragis yang menimpa guru honorer Ahmad Budi Cahyono di Sampang Madura ini menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua, bahwa pembentukan akhlaq haruslah menjadi garapan utama di sekolah maupun di madrasah.

* Kepala MA An-Najiyyah Lengkong Sukorejo Ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar