Oleh: Rony Harsoyo*
Kamis,
01 Februari 2018 menjadi hari terakhir yang teramat tragis bagi Ahmad Budi
Cahyono seorang guru seni (honorer) di SMAN 1 Torjun Sampang Madura. Dilansir
dari bangka.tribunnews.com,
tepat pkl. 21.40 sang guru honorer menghembuskan nafas terakhir di RS Dr. Soetomo
Surabaya dan hasil otopsi menunjukkan bahwa korban didiagnosa MBO (Mati Batang
Otak).
Penyebab
kematian korban ini diduga dikarenakan dianiaya oleh muridnya sendiri yang
berinisial MH (17 th) kelas XI SMAN 1 Torjun Sampang Madura. Berdasarkan laporan pihak berwajib, perkara terjadi
sekitar jam 1 siang pada sesi jam terakhir. Murid yang berinisial MH awalnya
ogah mendengar materi yang disampaikan oleh Budi. Bahkan, sikapnya menjadi-jadi
dengan malah mengganggu teman-teman dengan mencoret-coret lukisan mereka. Tentu
Budi tidak tinggal diam dan menegur murid yang ternyata anak seorang kepala
pasar. Namun peringatan sang guru tidak dihiraukan MH. Ia justru semakin
bersemangat mengganggu. Akhirnya Budi mengambil sikap dengan mencoret pipi MH
menggunakan cat warna. Tapi MH tidak terima dan sontak melepaskan bogem mentah.
Keonaran ini segera dilerai oleh sejumlah murid dan guru lainnya.
Keduanya kemudian dibawa ke ruang guru untuk menjelaskan duduk
persoalan. Surya.co id mendapatkan
sebuah laporan yang membahas terkait kondisi Budi. "Saat itu Kepsek tidak
melihat adanya luka di tubuh dan wajah Pak Budi." Jadi dipersilahkan,
"Agar Pak Budi pulang duluan." "Kemudian Kepsek mendapat kabar
dari pihak keluarga bahwa sesampainya di rumah, Pak Budi istirahat karena mengeluh
sakit pada lehernya." "Selang beberapa saat, Pak Budi kesakitan dan
tidak sadarkan diri dan langsung dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo, Surabaya."
Beredar selentingan rumor, sebuah informasi menyebutkan saat Budi dalam perjalanan
pulang, diduga dicegat MH. Namun, informasi ini masih misteri. Budi secara mengejutkan
akhirnya meninggal dunia jam 21.40 malam.
Ya, peristiwa yang sontak mengguncang dunia pendidikan di
Indonesia dan bahkan bisa dibilang peristiwa yang kedua kali terjadi sepanjang
sejarah pendidikan Indonesia di mana seorang siswa menganiaya gurunya sendiri
hingga mengakibatkan meninggal dunia, setelah peristiwa pembunuhan oleh
mahasiswa terhadap dosennya di salah satu universitas di Sumatra Utara beberapa
waktu lalu yang dilatarbelakangi oleh dendam pribadi.
Peristiwa
tersebut menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia, sekaligus
pembelajaran bahwa pendidikan karakter memegang peranan penting untuk membentuk
kepribadian seseorang. Betapa pendidikan di Indonesia kerap kali hanya dimaknai
sebagai teknik manajerial sekolah/madrasah dan menitik beratkan pada
nilai-nilai kuantitatif akademik kognitif semata. Iklim pendidikan masa kini,
umumnya lebih menuntut para siswanya untuk mendapatkan nilai dan angka yang
tinggi tanpa diimbangi dengan pendidikan budi pekerti serta nilai-nilai
perjuangan bangsa.
Sehingga tak
mengherankan jika Indonesia masih belum mampu menghasilkan klas elit modern
yang mampu melakukan perubahan secara fundamental terhadap tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Generasi yang terbentuk umumnya cetakan generasi yang
pragmatis, instan dan konsumtif. Ketika sikap yang pragmatis berdampingan
dengan sifat materialistis, maka pemuasan materi menjadi tujuan tertinggi dalam
kehidupan seseorang. Nilai-nilai kejujuran dan kebenaran tak lagi menjadi
pedoman, semakin dikesampingkan. Akibatnya, tak mengherankan jika mayoritas
penerus bangsa kita hanyalah sekumpulan generasi ‘instan’ yang enggan bersusah
payah dalam meraih tujuan. (www.kompasiana.com)
Terlebih saat
ini pendidikan hanya dimaknai sebatas ‘transfer of knowledge’ dengan kewajiban
guru sebatas mengajar, sebagai dampak dari beberapa kasus wali murid melaporkan
guru kepada pihak berwajib karena telah memberikan sanksi fisik kepada anaknya
dan dengan berdalih atas nama HAM dan perlindungan anak. Sehingga substansi
pendidikan sebagai ‘transfer of values’ jarang dilakukan bahkan tidak pernah ada
lagi. Akibatnya, siswa layaknya robot berjalan yang tidak memiliki
karakter/akhlaq yang baik.
Peristiwa di
atas, menurut hemat penulis merupakan salah satu indikator dampak dari sistem
pendidikan di Indonesia yang ‘masih gagal’. Guru, dihadapan siswanya sudah
tidak ada harganya lagi. Banyak bahkan mayoritas siswa ‘jaman now’ tidak
memiliki unggah-ungguh terhadap gurunya, berkata maupun bertindak tanpa
didasari sopan santun. Realitas ini relevan dengan pernyataan Muhaimin yang
mengatakan bahwa indikator kegagalan pendidikan agama Islam di Indonesia dalam
menggarap sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik dan membangun moral dan
etika bangsa adalah membudayanya ketidakjujuran dan rasa tidak hormat anak
kepada orang tua, dan guru. Menurutnya lagi, Lickona menyebutkan beberapa indikator
yang harus diwaspadai sebuah bangsa akan mengalami kehancuran salah satunya
adalah semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru (Muhaimin, 2011:
154).
Padahal,
guru adalah penyampai kebenaran. Ketabahan dan keikhlasan mengabdi kepada guru
merupakan syarat pokok untuk meraih keberhasilan menempuh pendidikan. Secara
implisit pembahasan mengenai interaksi guru dan murid, Az-Zarnuji menulis dalam
kitabnya Ta’lim al-Muta’allim:
إعلم بأنّ طا لب العلم لاينال العلم ولاينتفع
به الاّ بتعظيم العلم وأهله وتعظيم الأستاذ وتوقيره.
“Ketahuilah, sesungguhnya orang yang mencari
itu akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil manfaatnya tanpa mau menghormati
ilmu dan gurunya”.
Maka diperlukan revitalisasi pendidikan karakter
yang telah didengung-dengungkan pemerintah, agar terbentuk manusia Indonesia yang
tidak hanya memiliki kompetensi pengetahuan dan psikomotorik saja, namun lebih
memiliki moral/akhlaq yang mulia. Semoga tragedi tragis yang menimpa guru
honorer Ahmad Budi Cahyono di Sampang Madura ini menjadi pelajaran yang
berharga bagi kita semua, bahwa pembentukan akhlaq haruslah menjadi garapan
utama di sekolah maupun di madrasah.
* Kepala MA An-Najiyyah Lengkong Sukorejo Ponorogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar